Pahlawan Nasional Tan Malaka


Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976
yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa yang menembaknya. 
Tan Malaka
Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.
Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.
Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).
Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.
Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.
Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.
Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika. 
Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia.
Tan Malaka yang juga sebagai penggagas pendirian sekolah Sarekat Islam Semarang dan Sekolah Sarekat Islam Bandung memberikan penjelasan mengenai sistem pengajaran yang akan dilaksanakan bagi sekolah ini. Ada tiga tujuan yang hendak dicapai dengan didirikannya sekolah Sarekat Islam Semarang ini:
1. Memberi coekoep banjak djalan (kepada para moerid) oentoek mendapatkan mata pencaharian di dunia jang kapitalistis (berhitoeng, menoelis, ilmoe boemi, bahasa Belanda, Melaju, Djawa).
2. Memberi hak kepada para moerid oentoek mengikoeti kegemaran (hobi) mereka dengan membentoek perkoempoelan-perkoempoelan.
3. Mengarahkan perhatian para moerid pada kewadjiban mereka jang akan datang terhadap djutaan keloearga Pak Kromo.

0 komentar:

Post a Comment